RINGKASAN CERITA PANGERAN NATAKUSUMO(pustaka digital)

                                        PANGERAN NATAKUSUMO




Pangeran Natakusuma atau nama kecilnya RM. Sujadi  lahir pada  tanggal 21 Maret 1764 M, mangkat pada tanggal 19 Desember 1829 M, dan dimakamkan di Kompleks Makam (Pasarean) Panembahan Senopati Kotagede). Natakusuma adalah putera ke-11 Sri Sultan Hamengku Buwana I yang lahir dari ibu B.R.Ay. Srenggara, garwa dalem ampil Sultan, yang berasal dari wilayah Bagelen, Purwareja. R.M Sujadi sebagai bangsawan Keraton Yogyakarta, ia mempunyai saudara satu ibu berjumlah tiga orang yaitu B.R.Ay.Danukusuma, B.R.Ay. Rangga Mangundirdja, dan B.R.Ay.Natayuda. Era kehidupan Pangeran Natakusuma dapat dibagi menjadi tiga fase, yaitu pertama, pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwana I. Kedua, fase pemerintahan Hamengku Buwana II, dan Ketiga, fase era Pangeran Natakusuma pada saat berkuasa di Pura Pakualaman.Pada masa pemerintahan Hamengku Buwana I, kondisi Keraton Yogyakarta dapat dikatakan dalam keadaan stabil. Hal itu menunjukkan bahwa keraton mempunyai kewibawaan di mata kerabat, kawula, dan VOC. Tidak dipungkiri bahwa dalam periode itu juga muncul gerakan perlawanan kecil dan friksi-friksi persaingan dengan keturunan wangsa Mataram di Surakarta (Kasunanan dan Mangkunegaran). Tetapi Kasultanan menunjukkan kekuatannya dan diperhitungkan oleh VOC. Hal itu terbukti pada pertengahan abad ke-18 (1784 M) prajurit kasultanan diminta Belanda untuk memperkuat  pertahanan Batavia dalam menyongsong kemungkinan serangan Inggris (Riclefs, 2002).Pergantian pimpinan dinasti dari Hamengku Buwana I ke Hamengku Buwana II menyebabkan  ada perubahan kondisi dan sejarah, karena dalam periode ini diliputi oleh situasi pancaroba sosial dan politik di kasultanan. Situasi dan kondisi itu dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik
internal maupun eksternal. Faktor internal yang berpengaruh adalah adanya berbagai friksi di antara kerabat keraton di satu pihak dan di pihak lainnya adanya para pejabat  yang saling berebut pengaruh dan kedudukan. Faktor eksternal antara lain adanya tindakan provokatif Gubernur Jenderal Herman Daendels dalam berupaya mencengkeramkan pengaruh dan segala hegemoninya, tidak hanya ke dalam politik kekuasaan tetapi sampai dengan tata adat serta perilaku sosio-kulturalnya. Daendels terbukti memaksakan pola perilaku barat ke dalam tata pergaulan kerajaan pada masa pemerintahan Hamengku Buwana II. Fenomena penetrasi penguasa asing terjadi kembali pada saat Inggris menguasai pedalaman pulau Jawa. Melalui Raffles dan Crawfurd Keraton Yogyakarta mengalami penyerbuan dan penghancuran sistemik, baik dalam sistem pemerintahan, militer, kultural maupun kekayaannya. Pada akhirnya  keraton takluk dan Hamengku Buwana II diasingkan ke luar wilayah Mataram.Pada dasarnya manusia atau seorang tokoh sekalipun, tidak hanya intensif terlibat dengan waktunya, tetapi juga dengan waktu yang telah melampauinya. Waktu yang melewatinya itulah menjadikan  sebuah dimensi yang menyebabkan arti dan makna kehidupan manusia atau tokoh yang masih dapat dinilai atau dihargai walau telah tiada. Dengan demikian, apa yang telah diperbuat di samping merupakan rangkaian fakta-fakta yang dapat direkonstruksi dalam wujud kisah sejarah, juga dapat dipetik makna pentingnya.
Ketiga periode tersebut di atas mempunyai konteks dan dinamika tersendiri tetapi  saling terkait dalam rangkaian proses kesejarahan. Oleh karena itu, dimensi waktu yang ada harus diletakkan dalam proporsinya sehingga dapat mengeliminir adanya ironi historis, yaitu kesenjangan antara logika dan realitas. Dari tiga babakan waktu itu era Hamengku Buwana I dan Hamengku Buwana II menjadi latar belakang serta kondisi yang menjadi pemicu muculnya Dinasti Pakualaman. Oleh karena itu, eksistensi Pangeran Natakusuma harus juga diletakkan pada masa menjadi KGPAA. Paku Alam I yang bertahta di Pakualaman sampai dengan 19 Desember 1829 M.


DIKUTIP DARI:PUSTAKA DIGITAL(PADI)

0 komentar:

Posting Komentar